Sabtu, 20 Februari 2010

Ma'rifatullah (Indonesia)

Rasulullah saw bersabda: "Hai Abu Dzar! Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Bila kamu tidak dapat melihat-Nya, yakinilah sesungguhnya Dia melihatmu!"

Ma’rifatullah berarti mengenal Allah.
Mengenal Allah bukan berarti mencari tahu tentang Dzat-Nya, itu adalah tidak mungkin. Dalam mengenali Allah, Rasulullah saw menyuruh kita untuk memikirkan tentang ciptaan-Nya, tentang tanda-tanda kekuasaan-Nya dengan mengerahkan segala potensi akal, bukan memikirkan Dzat-Nya.

Khalifah Umar bin al Khattab radhiyallahu ‘anhu suatu hari, ia melihat seorang pemuda yang sedang menggembalakan beratus-ratus ekor kambing. Khalifah kagum akan kerajinan si penggembala dalam memberikan kasih sayang dan rasa tanggungjawabnya terhadap binatang gembalaannya tersebut.

Khalifah mendekati pemuda itu dengan menyamar sebagai orang biasa. Khalifah memanggilnya dan bertanya kepadanya: “Wahai anak muda! Aku sangat tertarik pada kambing-kambingmu, bolehkah aku membeli seekor?"
Anak muda itu menjawab: “Tidak boleh, Tuan, ini bukan kambing-kambing saya. Semua kepunyaan majikan saya.”
Khalifah berkata lagi: “Kalau kamu jual seekor saja, tentu majikanmu tidak akan tahu.”
Anak itu dengan cepat merespon: “Fa ainallaah, ya Sayyid? (Maka, di manakah Allah, hai Tuan?)

Khalifah terharu dengan jawaban sang pemuda dan terpesona oleh ketakwaannya. Pemuda itu seorang yang sadar bahwa jika majikannya tidak mengetahui apa yang ia lakukan, pastinya Allah Maha Mengetahui. Allah menyaksikan apa yang dilakukan manusia, sekalipun baru lintasan di dalam hati.

Orang yang mengenali Allah mata hatinya bersih, dapat merasakan kewujudan-Nya, menyadari pengawasan-Nya, dan kebersamaan-Nya. Orang yang mengenali Allah tidak dibutakan hatinya maupun terjerat harta dunia.

Allah berfirman:
72. dan siapa yang berada di dunia ini (dalam keadaan) buta (mata hatinya), maka ia juga buta di akhirat dan lebih sesat lagi jalannya.(Surah al Isra’/17)

46. Yang sebenarnya bukanlah mata kepala yang buta, tetapi yang buta itu ialah mata hati yang ada di dalam dada. (S. al Hajj/22)

Dengan mengenali Allah, hati cenderung untuk selalu mengingat-Nya. Dengan selalu mengingat Allah, maka timbullah rasa tentram dan damai. Jiwa terasa dekat dengan-Nya, sehingga lahir perasaan aman, karena yakin dirinya berada dalam perlindungan Allah SWT.

Orang yang telah dekat dengan Allah, tak ingin berpisah dari-Nya, tumbuh kerinduan kepada-Nya, timbul kecintaan terhadap-Nya, hanyut di dalam penghambaan, hidup penuh kebahagiaan. Kebahagiaan yang bukan bersumberkan kebendaan atau keduniaan.

Bukankah segala benda itu alat, bukankah dunia itu tunggangan? Tidak layak untuk dijadikan sembahan. Kecintaan hanya untuk Allah, tidak boleh ditukar lalu ditujukan untuk selain-Nya, tidak boleh diberikan untuk dunia, karena jauh dari Allah dapat mendatangkan malapetaka, kehancuran dan kesesatan.

حب الدنيا رأس كل خطيئة
Cinta terhadap dunia itu adalah puncak dari segala dosa.

Abu Bakar ash Shiddiiq pernah berdoa: “Ya Allah jadikan dunia ini di tangan kami, bukan di hati kami!"

Dengan demikian, mengenali Allah ialah mengikhlaskan seluruh langkah dalam kehidupan untuk mendapatkan ridha-Nya. Mengenali Allah ialah menjauhi riya’, ujub yang membawa kepada kesombongan, sifat angkuh yang akan memalingkan hidup dari tujuan asalnya yaitu pengabdian diri kepada Allah, penghambaan diri terhadap-Nya semata, bukan selain-Nya.

56. dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah dan beribadat kepadaKu. (S. adz Dzariyaat/51)

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah bagi Allah Tuhan Pencipta semesta alam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar